"MENINGGIKAN KUBURAN” DAN "MEMBANGUN KUBAH DAN MASJID DIATASNYA" DALAM PANDANGAN ISLAM

Minggu, 16 Juni 2013

 "MENINGGIKAN KUBURAN”
DAN
"MEMBANGUN KUBAH DAN MASJID DIATASNYA"
DALAM PANDANGAN ISLAM
(judul Asli :  SYARH ASH SHUDUR BI TAHRIIM RAF'I AL QUBUR )
Ditulis dan Disusun
Oleh
Imam Muhammad bin 'Ali Asy Syaukany –rahimahullah- )
Diringkas dan Dialihbahasakan 
Oleh
( Abu Shafwan Al Munawy –'afallahu 'anhu- )

KATA PENGANTAR
(Oleh ; Peringkas dan Penerjemah)
بسم الله الرحمن الرحيم
                Segala puji bagi Allah,Tuhan semesta alam serta shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas nabi kita Muhammad,keluarga,maupun para sahabatnya.
               Buku kecil ini merupakan sebuah ringkasan dan terjemahan dari sebuah risalah agung yang ditulis oleh Imam Muhammad bin 'Ali Asy-Syaukany –rahimahullah- seorang ulama dari negeri Yaman yang hidup sekitar abad ke 13 H.Beliau yang terkenal dengan keluasan ilmu dan kesungguhannya dalam berdakwah,tatkala menyaksikan berbagai macam penyimpangan sebagian umat islam dizamannya,beliau dan beberapa ulama lainpun menyerukan pada umat ini untuk kembali kepada Al Qur-an dan Sunnah agar mereka keluar dan selamat dari berbagai macam penyimpangan baik berupa bid'ah,kesyirikan,dan fanatik buta yang pada zamannya menyebarluas diseluruh penjuru negeri kaum muslimin,dan mungkin hal tersebut tidak jauh berbeda dengan keadaan umat saat ini.   
          Diantara penyimpangan dan bid'ah yang diperingatkan oleh Sang Imam ini kepada umat pada zamannya adalah bid'ah "meninggikan bangunan kuburan,dan membangun kubah dan masjid-masjid diatasnya" yang beliau tulis dan sebarkan dalam bentuk risalah sederhana namun manfaatnya sangatlah besar,risalah itu beliau namakan "Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al Qubur".
         
          Dalam risalah penting ini,penulis –rahimahullah- mengawali pembahasannya dengan masalah "kewajiban mengembalikan perbedaan pendapat (ikhtilaf) dikalangan umat ini kepada Al Qur-an dan Sunnah" agar dapat diketahui mana pendapat yang benar dan mana yang menyimpang dari kebenaran.Kemudian beliau menukil beberapa ayat yang menyangkut kewajiban untuk mentaati Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- dan bahwa mentaatinya merupakan bentuk ketaatan kepada Allah ta'ala.Setelah membahas dua poin pendahuluan tersebut, beliau baru menyebutkan pokok bahasan risalah ini yang sekaligus sebagai salah satu contoh ikhtilaf yang wajib dikembalikan kepada Al Qur-an dan Sunnah serta penjelasan bagaimana cara mengembalikan ikhtilaf tersebut kepada keduanya,adapun pokok bahasan tersebut adalah "hukum meninggikan kuburan dan membangun qubah dan masjid diatasnya".
           Karena pentingnya isi risalah ini,maka kami memandang perlunya untuk meringkas dan menerjemahkannya agar lebih mudah  dan gampang dipahami.Dan agar lebih memberikan manfaat,dalam terjemahan ini kami mengikutsertakan sedikit ta'liq (catatan kaki)  dan takhrij pada setiap hadis yang ada didalamnya serta memberikan judul khusus pada setiap pokok bahasan.
           Demikian terjemahan risalah ini,lebih kurangnya mohon dimaafkan dan saya memohon kepada Allah untuk menjadikan risalah ini bermanfaat bagi kaum muslimin,amin.washallallahu 'ala nabiyina muhammad wa 'ala alihi wasallam.     
      Al Madinah Al Munawwarah,Jum'at 20 Rabi' Al Akhir 1432 / 26 Maret 2011
(Abu Shafwan Al Munawy)


PENDAHULUAN
             Segala puji hanya bagi Allah,Tuhan semesta alam,serta shalawat dan salam senantiasa tercurahkan atas pemimpin para rasul,keluarganya yang suci,dan para sahabatnya yang mulia.Wa ba'du…
             Ketahuilah…bahwa apabila terjadi perbedaan pendapat dikalangan kaum muslimin atau para ulama yang mujtahidin dalam suatu masaاah  ,misalnya dalam menentukan hukum suatu masalah apakah ia merupakan hal yang bid'ah atau bukan,yang makruh atau bukan,yang haram atau bukan,dan sebagainya maka yang telah menjadi kesepakatan diantara kaum muslimin baik yang terdahulu maupun yang sekarang,dari zaman sahabat sampai zaman  ini –abad ke 13 H-[1]  adalah wajib mengembalikan ikhtilaf (perbedaan pendapat) mereka tersebut kepada Kitabullah dan sunnah RasulNya,sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur-an ;
; فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
Artinya ; "…Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur-an) dan RasulNya (sunnah)…"(QS.An Nisa' ; 59)
             Adapun makna "kembali kepada Allah" adalah kembali kepada kitabNya,",sedangkan makna  "kembali kepada RasulNya" adalah kembali kepada sunnahnya setelah wafatnya.
              Jika ada seorang ulama yang mujtahid mengatakan ;"ini halal",lalu ulama lain mengatakan ; "ini haram",maka yang pertama tidak lebih berhak untuk benar daripada yang kedua kendatipun kapasitas ilmunya lebih tinggi,umurnya lebih tua,atau zamannya lebih duluan,karena masing masing dari mereka merupakan hamba Allah, wajib beribadah dengan syariat yang terdapat dalam Kitabullah dan sunnah rasulNya serta masing-masing diberikan kewajiban yang sama.Adapun tingginya kapasitas ilmu atau sampainya ia pada derajat mujtahid atau bahkan diatasnya lagi,maka hal itu tidaklah serta merta menjadikan dirinya bebas dari melaksanakan amalan-amalan agama yang telah disyariatkan Allah atas hambaNya,serta tidak mengeluarkannya dari golongan hamba yang mukallaf (mendapatkan kewajiban),bahkan setiap ulama jika ilmunya bertambah,maka serta merta kewajiban yang diembannya akan jauh  lebih berat dari selainnya,berupa kewajiban menjelaskan agama kepada manusia dan menjelaskan perkara-perkara yang Allah syariatkan atas para hambaNya.
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّه لِلنَّاسِ وَلا تَكْتُمُونَهُ
Artinya ; "Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu) ; Hendaknya kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan jangan kamu menyembunyikannya…" (QS.Ali 'Imran ; 187).
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ
Artinya ;"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab,mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela'nati."(Al Baqarah ; 159)
               Seandainya tidak ada kewajiban atas orang-orang yang diberikan sebagian ilmu oleh Allah selain kewajiban menyampaikannya kepada manusia,maka ini telah cukup sebagai dalil atas apa yang kami telah sebutkan bahwa para ulama tidaklah keluar dari ruang lingkup taklif (pelaksanaan syariat),bahkan sebaliknya kewajiban mereka bertambah,dan apabila mereka berbuat dosa maka dosa dan hukuman atas mereka lebih besar daripada dosa dan hukuman yang akan didapatkan oleh orang jahil,sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah tentang  orang yang beramal keburukan karena jahil dan orang yang melakukannya dengan mengetahui bahwa hal itu adalah keburukan,juga penjelasanNya dalam banyak ayat tentang ulama-ulama Yahudi yang mana mereka selalu melakukan penyelisihan terhadap syariat Allah,padahal mereka mengajarkan dan mempelajari Al Kitab (yang berisi syariat Allah),sebab itu Allah mencela dan menghujat mereka dengan keras dalam beberapa ayat dalam KitabNya.Dan sebagaimana juga yang terdapat dalam hadis shahih ; "..Sesungguhnya orang yang pertama kali dijerumuskan kedalam jahannam adalah ; seorang alim yang memerintahkan manusia (kepada kebaikan)  sedangkan ia tidak melaksanakannya,dan melarang manusia (dari maksiat) sedangkan ia tidak menjauhinya."*[2]
               Secara umum,ini adalah perkara yang maklum,bahwa banyaknya ilmu serta sampainya seorang ulama pada derajat ilmu yang paling tinggi tidaklah membebaskan dirinya dari kewajiban-kewajiban syar'i,bahkan hal itu malah membebaninya banyak kewajiban tambahan,karena ia diperintahkan dan dibebankan kewajiban yang jauh berbeda dengan orang-orang awam,sehingga apabila ia melakukan dosa,maka dosa dan hukumannyapun lebih besar.Masalah ini tidaklah diingkari oleh seorangpun walaupun  orang yang hanya memiliki sedikit ilmu agama.Adapun ayat-ayat dan hadis-hadis yang membahas masalah ini sangatlah banyak yang tak bisa disebutkan semuanya dalam tulisan sederhana ini.
                 Oleh karena itu,jelaslah,bahwa tidak boleh ada seorangpun dari para ulama yang berbeda pendapat atau dari kalangan pengikut-pengikut mereka untuk mengatakan ; "Yang benar (dalam masalah ini) adalah pendapat si fulan dan bukan pendapat si fulan," atau "si fulan pendapatnya  lebih benar daripada pendapat si fulan."Akan tetapi wajib  mengembalikan perbedaan pendapat mereka tersebut kepada Kitabullah dan sunnah rasulNya –shallallahu'alaihi wasallam-, barangsiapa yang pendapatnya sesuai dalil dari Al Qur-an dan Sunnah maka pendapatnyalah yang benar,sebaliknya barangsiapa yang pendapatnya tidak sesuai dengan dalil Al Qur-an dan Sunnah maka pendapatnyalah yang salah,namun ia tidak mendapatkan dosa jika ia telah sungguh-sungguh berijtihad,bahkan ia seharusnya diberikan 'udzur (dimaafkan) dan berhak mendapatkan pahala,sebagaimana yang terdapat dalam hadis :
اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران اثنان وإذا اجتهد فأخطأ فله أجر واحد
Artinya ; "Jika seorang hakim berijtihad,lalu ijtihadnya (pendapatnya) itu benar,maka ia mendapatkan dua pahala,dan apabila ia berijtihad namun pendapatnya salah maka ia mendapatkan satu pahala."[3]
              Akan tetapi pahala ini hanyalah khusus buat sang mujtahid saendiri jika ia salah dalam berijtihad,dan tidak boleh bagi orang selainnya untuk mengekor kesalahannya karena ia tidak akan dimaafkan dan tidak akan mendapatkan pahala seperti sang mujtahid tadi,namun wajib baginya untuk tidak mengekor kesalahannya itu,serta kembali kepada kebenaran yang ditunjukkan oleh Al Qur-an dan Sunnah.
               Apabila perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu tersebut telah dikembalikan kepada Al Qur-an dan Sunnah,maka siapa saja yang pendapatnya sesuai dengan dalil Al Quran dan Sunnah,dialah yang benar walaupun ia hanya sendiri,sebaliknya siapa yang pendapatnya tidak sesuai dengan keduanya dialah yang salah walaupun yang sependapat dengannya banyak.Dan sama sekali tidak dibolehkan bagi seorang ulama,penuntut ilmu,atau seseorang yang memiliki pemahaman agama untuk mengatakan bahwa  kebenaran (dari yang diperselisihkan itu) berpihak kepada ulama yang ia ikuti,padahal kebenaran dalil dari Al Qur-an dan Sunnah berpihak pada selainnya,sebab hal itu merupakan suatu bentuk kejahilan,fanatik buta yang tercela dan jauhnya ia dari etika keinshafan sebab al haq (kebenaran) itu tidaklah dikenal dari  pengusungnya,namun para pengusungnyalah yang terkenal karena kebenaran (yang mereka usung).Dan perlu diketahui tiada satupun dari kalangan ulama dan imam ahli ijtihad yang ma'shum (terbebas dari kesalahan),dan siapa yang tidak ma'shum maka tentu ia bisa salah,sebagaimana ia juga bisa benar,sehingga terkadang pendapatnya benar,dan terkadang salah dan kedua hal itu (benar dan salahnya) tidak akan jelas kecuali mngembalikannya kepada Al Quran dan Sunnah.Jika pendapatnya sesuai dengan keduanya maka ia benar,sebaliknya jika menyelisihi keduanya maka ia telah salah.Dan tidaklah ada perbedaan pendapat dalam masalah ini diantara kaum muslimin baik para pendahulu mereka maupun yang datang belakangan bahkan hal ini juga diketahui oleh setiap orang yang paling rendah  tingkat ilmu agamanya.Namun barangsiapa yang tidak memahami dan mengakui hal ini,hendaknya ia mencela dirinya sendiri lalu menyadari bahwa ia telah menganiaya dirinya sendiri dengan turut ikut campur dalam masalah yang bukan haknya serta yang tidak sesuai dengan kapasitas ilmu dan kadar pemahamannya.Setelah itu wajib atasnya untuk tidak menyebarkan pemahamannya yang rusak itu dan kemudian menyibukkan diri dengan menuntut ilmu (agama) serta ilmu ijtihad yang bisa memudahkannya untuk memahami Al Qur-an dan Sunnah,dan bersungguh-sungguh mengkaji Sunnah dan cabang-cabang ilmunya,sehingga ia bisa membedakan antara hadis yang shahih dan hadis yang dha'if,dan mana yang maqbul (bisa dijadikan dalil) dan mana yang mardud (tidak bisa diterima sebagai dalil) serta hendaknya ia mempelajari perkataan-perkataan para imam besar dari kalangan salaf (para pendahulu) umat ini ataupun dari kalangan para ulama belakangan agar dengan perkataan mereka tersebut bisa memudahkan dirinya untuk sampai kepada tujuan yang ia harapkan.Namun apabila ia tidak melaksanakan hal ini,dan lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan pendapatnya yang telah kami sebutkan sebelumnya,ia pasti akan sangat merasakan penyesalan karena  telah lalai menuntut ilmu, berkomentar tentang apa yang tidak bermanfaat baginya,serta turut ikut campur dalam perkara yang bukan haknya.Sungguh  betapa indah tarbiyah yang disampaikan oleh Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- dalam sabdanya yang shahih :
رحم الله من قال خيراً أو صمت
Artinya ; "Allah merahmati orang (yang apabila berkata) ia berkata yang  baik atau cuma berdiam."[4]
           Adapun orang ini,ia telah berani berkomentar tentang ilmu yang ia tidak tahu menahu tentangnya,menyibukkan dirinya dengan ta'ashshub (fanatik buta) terhadap para ulama,lalu menampilkan diri untuk membenarkan dan menyalahkan (ulama lain secara serampangan) dalam masalah yang ia sendiri tidak tahu  dan tidak memahami hal itu  dengan pemahaman yang benar,maka iapun tidak termasuk orang yang apabila berkata,ia berkata yang baik dan tidak pula termasuk orang yang cuma berdiam,sehingga ia tidak lagi beradab dengan adab yang diajarkan oleh Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam-  (dalam hadis diatas).
              Apabila hal itu telah jelas yaitu tentang kewajiban kembali kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya berdasarkan dalil Al Quran,Sunnah dan Ijma' (kesepakatan) seluruh kaum muslimin, engkau pasti tahu  siapa saja yang mengklaim bahwa ketergelinciran ulama dapat diketahui dengan selain metode ini –tatkala mereka berbeda pendapat dalam suatu masalah-,maka ia telah menyelisihi dalil dalil Al Qur-an dan Ijma' (kesepakatan) kaum muslimin.
              Dan dalam tulisan,aku akan menjelaskan satu contoh dari  masalah yang telah saya sebutkan diatas berupa ikhtilaf (perbedaan pendapat) dilkalangan ulama tersebut,serta bagaimana caranya mengembalikan perbedaan tersebut kepada Kitabullah dan sunnah rasulNya agar jelas siapa yang benar dan siapa yang salah dan agar kita bisa mengetahui dan memahami yang hak dengan baik,karena suatu (kaidah) jika dicontohkan dan digambarkan, masalahnya akan menjadi jelas dan tidak akan begitu sulit untuk dipahami.Adapun masalah yang akan kami angkat sebagai contoh dan permisalan dari (kadah) yang telah kami sebutkan adalah masalah yang lagi populer pada zaman dan dinegeri kita ini,yaitu masalah "MENINGGIKAN KUBURAN DAN MEMBUAT BANGUNAN DIATASNYA" seperti yang dilakukan sebagian orang berupa membangun masjid dan qubah-qubah diatas kuburan.
              Ketahuilah sesungguhnya umat islam dari sejak zamannya para sahabat –radhiyallahu'anhum- sampai zaman ini telah sepakat (ijma') bahwa meninggikan kuburan dan membuat bangunan diatasnya merupakan suatu bid'ah yang telah ada larangannya dan ancaman Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- atas para pelakunya sangatlah keras, -sebagaimana yang akan kami jelaskan- dan tidak ada seorangpun dari kalangan umat islam yang menyelisihi hal tersebut.Akan tetapi muncul sebuah pendapat dari Imam Yahya bin Hamzah[5] yang mengisyaratkan bahwa ia membolehkan pembangunan qubah dan bangunan-bangunan megah diatas kuburan orang-orang shalih,padahal pendapat ini belum pernah dikatakan dan dinukil dari seorangpun selain darinya.Dan adapun penukilan para penulis kitab-kitab fiqih madzhab zaidiyah[6] (atau selain mereka dari madzhab lain –pent-) tentang masalah ini maka mereka hanyalah menukil dan mengikuti pendapatnya dan kami belum mendapatkan satu pendapatpun yang  senada dengannya dari kalangan ulama yang sezaman dengannya atau zaman sebelumnya,baik dari kalangan ahli bait maupun selain mereka.Dan pendapat seperti inilah yang dinukil secara ringkas oleh penulis kitab "Al Bahru Az Zakhkhar" yang  merupakan kitab fiqih pegangan dan rujukan  utama para ulama madzhab zaidiyah.
           Akan tetapi penulis kitab  ini sama sekali tidak menyandarkan pendapat ini –yakni bolehnya membangun qubah dan bangunan-bangunan megah diatas kuburan-  kecuali kepada Imam Yahya bin Hamzah  saja,sebagaimana perkataanya :
         "Masalah Imam Yahya ; Tidak apa-apa (membangun) qubah dan bangunan-bangunan megah diatas kuburan orang-orang yang mulia dan para raja karena kaum muslimin telah melakukan hal tersebut dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya."
           Dari penukilan tersebut,akupun mengetahui bahwa tiada seorangpun yang berpendapat seperti itu kecuali Imam Yahya  dan juga mengetahui bahwa dalil yang menjadi pegangannya adalah amalan kaum muslimin yang tidak diingkari oleh seorangpun.
           Apabila engkau telah mengetahui hal ini,maka telah jelas bagimu bahwa perbedaan pendapat ini hanyalah terjadi antara Imam Yahya sendiri dengan seluruh ulama umat islam dari kalangan para sahabat,para tabi'in,dari kalangan para pendahulu ahli bait maupun yang datang belakangan,para imam madzhab yang empat dan selain mereka dari para ulama ahli ijtihad.  
            Maka pahamilah tulisan yang akan aku sampaikan ini,yang berisi penjelasan tentang pendapat mana yang benar dalam masalah ini agar keragu-raguan dan syubhat yang masih tersimpan dalam hati sebagian umat ini sirna dan mereka dapat menerima kebenaran dengan lapang dada :
   
     

{ KEWAJIBAN MENTAATI RASULULLAH –SHALLALLAHU'ALAIHI WASALLAM- }
             Mentaati Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- merupakan suatu kewajiban sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al Qur-an dalam banyak ayat,diantaranya ;
*وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Artinya ; "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia,dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah."(Al Hasyr ; 7)
*قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ                                                   
Artinya ; "Katakanlah "jika kamu benar-benar mencintai Allah ikutilah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (Ali 'Imran ; 31)
              Ayat ini mengisyaratkan bahwa kecintaan kepada Allah tidak akan terwujud kecuali dengan mengikuti RasulNya dan mutaba'ah (mengikuti rasul) ini merupakan tolak ukur besar kecilnya kecintaan seorang hamba kepada Allah ta'ala serta  merupakan sebab yang dapat mendatangkan kecintaan Allah kepada hambaNya.
iمَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ     *
Artinya ; "Barangsiapa yang mentaati Rasul itu,sesungguhnya ia telah mentaati Allah" (An Nisaa' ; 80)
             Ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada Rasul merupakan bentuk ketaatan kepada Allah 'azza wa jalla.
*وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُن أُولَئِكَ رَفِيقاً
Artinya ; "Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah yaitu ; nabi-nabi,para shiddiqin,orang-orang yang mati syahid,dan orang-orang shalih.Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (An Nisaa' ; 69)
*وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْه فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
         Artinya ; "Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan takwa kepadaNya maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (An Nuur ; 52)
              Dan ayat-ayat seperti ini banyak sekali terdapat dalam Al Quran sehingga mencapai sekitar 30 ayat[7].Dari sekian ayat yang telah dinukil diatas dapat disimpulkan bahwa apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- wajib untuk ditaati karena Allah telah memerintahkan demikian,sehingga ketaatan kepada rasul merupakan ketaatan kepada Allah,dan semua perintah rasul merupakan perintah yang datangnya dari Allah ta'ala.

(PENJELASAN TENTANG HUKUM MENINGGIKAN KUBURAN DAN MEMBANGUN KUBAH,MASJID DAN BANGUNAN-BANGUNAN MEGAH DIATASNYA)
                      Disini,kami akan menukilkan tentang hadis-hadis shahih dari Nabi –shallallahu'alaihi wasallam- yang menjelaskan larangan meninggikan bangunan kuburan,serta kewajiban meratakannya dengan tanah.Namun ada baiknya pembahasan ini terlebih dahulu kami awali dengan beberapa pencerahan agar dapat mudah dipahami bahwa meninggikan bangunan kuburan dan membangun bangunan diatasnya dapat mendatangkan sebuah fitnah dan bencana besar bagi umat karena hal itu merupakan tipu daya setan yang denganya ia telah menjerumuskan umat-umat terdahulu kedalam jurang kesyirikan dan kekufuran,dan umat manusia yang pertama kali terjerumus kedalam hal itu adalah kaum Nabi Nuh –'alaihissalam- sebagaimana yang telah dikisahkan oleh Allah dalam Al Qur-an :
قَالَ نُوحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَاراً . وَمَكَرُوا مَكْراً كُبَّاراً . وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلا سُوَاعاً وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً
Artinya ; "Nuh berkata ; "Wahai tuhanku sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka.Dan melakukan tipu daya yang amat besar," Dan mereka berkata ; "jangan sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kamu dan jamnagn pula sakali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd dan jangan pula suwaa',yaghuts,ya'uq dan nasr." (QS.Nuh ; 21-23)
         Mereka yang disebut dalam ayat ini (Wadd,Suwaa',yaghuts,Ya'uq dan Nasr) adalah orang-orang shalih dari keturunan Adam –alaihissalam-, dahulu mereka memiliki banyak pengikut.Namun ketika mereka wafat,maka pengikut-pengikut mereka mengatakan : "Seandainya kita membuat patung dalam rupa mereka,mungkin akan  membuat kita lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah tatkala kita lebih banyak mengingat mereka (karena mereka seakan-akan hidup bersama kita),lalu merekapun membuat patung-patung dalam rupa mereka.Nah, ketika mereka wafat,datanglah generasi berikutnya,lalu Iblis merasukkan kedalam pemahaman mereka : "Sesugguhnya mereka (nenek moyang kalian) dahulu menyembah mereka dan dengan perantaraan merekalah hujan diturunkan." Maka merekapun menyembah patung orang-orang sahlih tersebut,yang kemudian suatu saat orang-orang arabpun ikut-ikutan menyembahnya.Hal ini telah disebutkan dalam Kitab Shahih Al Bukhary dari Ibnu 'Abbas –radhiyallahu'anhuma-.Sebagian salaf mengisahkan ; "Sesungguhnya orang-orang yang mereka sembah,mereka adalah orang-orang shalih dari kaum Nuh –'alaihissalam-,setelah mereka wafat,pengikut-pengikut mereka beri'tikaf dikuburan-kuburan mereka dan membuatkan mereka patung-patung sehingga dengan berlalunya waktu patung-patung tersebut menjadi sesembahan mereka.Hal ini juga berhubungan erat dengan yang terdapat dalam Shahihain dan selainnya dari 'Aisyah –radhiyallahu'anha- ; bahwa Ummu Salamah –radhiyallahu'anha- menceritakan kepada Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- tentang sebuah gereja yang ia lihat di Habasyah serta menceritakan apa yang ada didalamnya  berupa gambar-gambar.Rasulullah bersabda :
أولئك قوم إذا مات فيهم العبد الصالح أو الرجل الصالح بنوا على قبره مسجدا وصوروا فيه تلك الصور أولئك شرار الخلق عند الله
Artinya ;  "Mereka adalah kaum yang apabila ada hamba atau orang shalih meninggal,mereka membangunkan diatas kuburannya sebuah masjid (tempat peribadatan) lalu membuatkan mereka patung-patung.Mereka adalah makhluk yang paling buruk disisi Allah."[8]
         Dalam Shahih Muslim dari Jundub bin Abdullah Al Bajaly –radhiyallahu'anhu- berkata ; saya mendengar Rasulullah sebelum wafat bersabda ;  
الا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
 Artinya : "Ingatlah,sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu mereka dahulu menjadikan kuburan nabi-nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid (tempat ibadah),maka ingatlah janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid  (tempat ibadah),karena sesungguhnya aku melarang kalian darinya."[9]
       Dan dalam Shahihain dari hadis 'Aisyah –radhiyallahu'anha- bahwa ketika ajal menjemput Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam-,beliau berkata ;
 لعنة الله على اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
artinya ; "Semoga Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid," beliau memperingatkan (umatnya agar menjauhi) apa yang mereka perbuat.[10] Dan hadis yang senada dengan ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah dalam Shahihain.
            Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dengan sanad jayid dari hadis Ibnu Mas'ud –radhiyallahu'anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- bersabda ;
 ان من شرار الناس من تدركه الساعة وهم أحياء ومن يتخذ القبور مساجد
artinya ; "Sesungguhnya manusia yang paling buruk adalah orang yang ketika datang hari kiamat mereka masih hidup dan orang-orang yamg menjadikan kuburan sebagai masjid (tempat ibadah)." [11]
            Juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahli As Sunan dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas –radhiyallahu'anhuma-  ;
            لعن رسول الله  - عليه الصلاة والسلام - زائرات القبور والمتخذين عليها المساجد والسرج     
Artinya ; " Rasulullah melaknat wanita-wanita peziarah kubur dan orang yang membangun diatasnya masjid-masjid dan (menyimpan) lampu-lampu diatasnya."[12]
             Dalam Shahih Muslim dan selainnya dari Abu Al Hayyaj Al Asady berkata : "Ali bin Abu Thalib –radhiyallahu'anhu-  berkata kepadaku : "Maukah jika aku mengutusmu kepada perkara yang Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- telah mengutusku kepadanya ? (yaitu) agar tiada satupun patung yang aku temukan kecuali aku harus menghancurkannya dan tidak ada kubur yang ditinggikan (bangunannya) kecuali aku harus meratakannya (dengan tanah)."[13] .Dan yang senada dengan ini juga diriwayatkan dari Tsumamah bin Syafy dalam Shahih Muslim.[14]
          Hadis ini merupakan dalil yang kuat bahwa hukum meratakan bangunan kuburan yang tinggi,yaitu yang melebihi ukuran kuburan yang syar'i (sekitar sejengkal) adalah wajib.Diantara contoh meninggikan bangunan kuburan adalah membuatkan atap atau membangun diatasnya qubah-qubah dan masjid-masjid,sebab ini merupakan hal yang terlarang.Oleh karena itu Nabi –shallallahu'alaihi wasallam- mengutus Ali bu Tahlib –radhiyallahu'anhu- untuk menghancurkannya dan meratakannya dengan tanah,dan kemudian dimasa kekhilafahannya,Ali –radhiyallahu'anhu- mengutus Abu Al Hayyaj Al Asady untuk melakukan hal tersebut.
        Dalam riwayat Ahmad,Muslim,Abu Daud dan At Tirmidzy  yang dishahihkan oleh An Nasa'I dan Ibnu Hibban dari hadis Jabir,ia berkata ;

نهى النبي صلى الله عليه وسلم أن تجصص القبور وأن يكتب عليها وأن يبنى عليها وأن توطأ
Artinya ; "Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- melarang menghiasi kuburan,membuat tulisan diatasnya.membuat bangunan diatasnya,dan menginjaknya."[15]
.          Adapun diantara bentuk-bentuk larangan Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- dari meninggikan dan membangun masjid diatas kuburan,diantarnya ;
*Beliau melaknat para pelakunya, sebagaimana dalam hadis diatas,dalam hadis lain juga beliau bersabda :
                 اشتد غضب الله على قوم اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
artinya : "Allah sangat murka kepada kaum yang menjadikan kubur-kubur nabi mereka sebagai masjid."[16],lalu bagaimana dengan selain kuburan para nabi,tentu kemurkaanNya akan lebih besar.  
*Kadang beliau melarang hal tersebut dan mengutus sahabat untuk meratakannya dengan tanah dan mencela perbuatan tersebut serta menisbatkannya pada Yahudi dan Nasrani (lihat hadis-hadis diatas)
*Kadang beliau mengatakan :
     لا تجعلوا قبري عيدا                                                                                                  
Artinya : "Jangannlah kamu menjadikan kuburanku sebagai 'ied (tempat yang dikhususkan waktunya untuk menziarahinya)."[17]
                 Perbuatan seperti ini telah dilakukan oleh para penyembah kuburan yang mana mereka menentukan dan mengkhususkan waktu untuk berkumpul dengan tujuan berziarah kemakam orang-orang yang mereka yakini sebagai wali,lalu beri'tikaf dan melaksanakan berbagai bentuk ibadah dimakam tersebut.Seperti inilah amalan mereka,dengannya mereka rela meninggalkan ibadah kepada Allah yang menciptakan mereka,memberikan mereka rezeki,lalu menghidupkan dan mematikan mereka,bahkan mereka kemudian menyimpangkan makna ibadah tersebut dengan menyembah penghuni kuburan padahal ia hanyalah seorang hamba Allah yang jasadnya telah berada dibawah tanah yang sama sekali tidak mampu untuk mendatangkan manfaat atas dirinya dan menjauhkannya  dari mudharat.Bahkan  Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- sendiri diperintahkan oleh Allah untuk mengatakan :
               قُل لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ                                                       
Artinya : "Katakanlah (wahai Muhammad) aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah."(QS.Al A'raaf ; 188)
            Perhatikanlah,bagaimana Allah memerintahkan hambaNya yang paling utama dan pemimpin semua manusia agar mengatakan bahwa ia sama sekali tidak bisa mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat dari dirinya sendiri,bahkan beliau juga pernah bersabda  ; "Wahai Fatimah binti Muhammad,aku tidak dapat membebaskan dirimu sedikitpun dari takdir Allah."[18] Jika ini adalah perkataan Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- yang Beliau tujukan pada diri beliau dan kepada putri yang paling beliau cintai,maka apa kira-kira persangkaanmu terhadap seluruh orang mati yang mereka bukan para nabi dan bukan pula para rasul yang ma'shum (terbebas dari dosa),namun mereka hanyalah individu-individu dari sekian banyak umat muhammad -tidak lebih-, yang sangat tidak mampu untuk mendatangkan manfaat dan menepis mudharat dari dirinya,lalu bagaimana ia bisa mampu melakukan sesuatu yang tidak disanggupi oleh Rasulullah !!?
          Tidak diragukan lagi,bahwa faktor utama yang menyebabkan munculnya keyakinan sesat terhadap orang-orang mati seperti ini adalah tipu daya setan yang ia perindah kepada manusia berupa meninggikan bangunan kuburan,membentangkan kain diatasnya,serta menghiasi dan memperindahnya  dengan hiasan-hiasan indah.Sehingga orang-orang awam yang jahil jika menyaksikan kuburan-kuburan yang diatasnya terdapat qubah,kemudian memasukinya dan menyaksikan kuburan-kuburan yang berbalutkan kain-kain indah,berhiaskan lampu-lampu yang berpijar,serta disudut-sudutnya dilengkapi dengan tempat-tempat gaharu yang mengeluarkan asap harum,maka sudah tentu hatinya akan membetikkan rasa pengagungan terhadap kuburan tersebut,akalnya akan menjadi sempit untuk membayangkan kedudukan sang penghuni kubur yang tidak lagi berdaya,serta jiwanya akan dirasuki oleh aqidah syaithaniyah (keyakinan sesat) yang merupakan tipu daya dan cara setan yang paling utama untuk menyeret para hamba sedikit demi sedikit kedalm jurang kesesatan,sehingga ia sampai pada amalan memohon kepada penghuni kuburan tersebut berbagai hajat  yang tidak dapat disanggupi kecuali oleh Allah 'Azza wa Jalla,yang dengannya iapun menjadi musyrik.
                Kadang hal tersebut terbetik pada dirinya saat pertama kali menziarahi dan menyaksikan kuburan yang megah tersebut,dan pada saat itu juga merasuk dalam pikirannya sebuah keyakinan bahwa tidak mungkin perhatian orang-orang terhadap kuburan sang mayit tersebut sebesar itu kecuali dikarenakan akan adanya manfaat dan faedah yang mereka harapkan darinya baik itu berupa manfaat duniawiyah maupun ukhrawiyah sehingga iapun semakin mengagungkan kuburan tersebut,apatah lagi jika melihat ada orang-orang yang menyerupai ulama melakukan ziarah,i'tikaf dan penuh kekhusyuan bertapa disisi kuburan tersebut.Selain itu,setan juga menyuruh sebagian pembantu dan saudara-saudaranya dari kalangan Bani Adam agar mereka senantiasa menjaga dan merawat kuburan tersebut untuk menipu para peziarah dengan cara membuat berbagai macam tipudaya (semacam ritual-ritual mistis) lalu menisbatkan bahwa keajaiban dan karamah yang  berasal dari makam tersebut berasal dari penghuni kubur.Bahkan mereka juga tak segan-segan mengarang berbagai macam kisah-kisah dusta yang menceriterakan kekeramatan sang penghuni kubur tersebut,lalu menyebarluaskannya kepada manusia melalui majelis-majelis,dan tempat-tempat keramaian,sehingga kisah-kisah dusta itupun tersebar luas dan berubah menjadi keyakinan masyarakat awam yang jahil (terhadap agama) sehingga mereka kemudian berusaha bernadzar dan mengorbankan harta paling berharga dan yang paling mereka cintai untuk sang penghuni kuburan karena yakin bahwa  dengan perantaraan kedudukan dan derajat ("Jaah") penghuni kubur tersebut mereka akan mendapatkan barakah yang banyak dan pahala yang besar.Mereka juga meyakini bahwa itu merupakan ibadah yang agung,ketaatan yang mendatangkan manfaat dan barakah,dan amalan kebaikan yang pasti terkabulkan,dan dengan tertanamnya keyakinan tersebut kedalam diri mereka maka terwujudlah tujuan para saudara dan pembantu-pembantu setan,karena mereka tidak melakukan perbuatan sesat dan kedustaan tersebut kecuali untuk menipu dan mendapatkan harta manusia yang tidak sadar akan tipu daya mereka.Akhirnya dengan adanya perantara terkutuk dan washilah iblis ini,harta-harta waqaf (sumbangan) yang banyakpun membanjiri kuburan-kuburan,bahkan salah satu dari orang-orang kaya dikalangan mereka   kadang menyumbang demi kuburan tersebut dengan jumlah harta yang besar,yang mana harta tersebut dapat menutupi kebutuhan pangan penduduk disuatu perkampungan kaum muslimin dan dapat membantu kehidupan para fakir miskin,padahal ini semua merupakan bentuk nadzar dalam kemaksiatan.Rasulullah bersabda ;
لا نذر في معصية الله
Artinya : "Tidak ada nadzar[19] dalam bermaksiat kepada Allah."[20]
           Selain itu,ia juga merupakan bentuk nadzar yang tujuannya bukan untuk mencari wajah Allah,bahkan semua itu adalah bentuk nadzar yang pelakunya berhak mendapatkan kemarahan dan murka Allah ta'ala sebab ia telah melakukan ibadah kepada penghuni kubur,padahal ibadah tersebut merupakan kewajiban yang wajib ditujukan kepada Allah,bukan kepada selainNya.
         Kebanyakan mereka bahkan berziarah kekuburan dengan membawa harta yang paling berharga baginya berupa binatang ternak,lalu menyembelihnya dikuburan tersebut dengan tujuan taqarrub (mendekatkan diri) kepadanya seraya mengharapkan keberkahan dari penghuni kubur.Lalu menyembelihnya dengan menyebut nama selain Allah akhirnya terjerumuslah ia kedalam penyembahan berhala,dan tidak ada perbedaan antara bebatuan yang disembah yang dinamakan "berhala" dengan makamnya orang mati yang dinamakan "kuburan" sebab kalau hanya sekedar berbeda nama tapi jenisnya sama maka hal itu tidak berpengaruh pada hukumnya sebagaimana halnya kalau ada orang yang menyebut khamar (minuman memabukkan) dengan selain namanya,maka berdasarkan kesepakatan (ijma') umat  hukumnya tetap haram  karena jenisnya tetap sama (yaitu minuman memabukkan).
         Dan tidak lagi diragukan bahwa penyembelihan merupakan salah satu bentuk ibadah sama seperti membayar fidyah,dan menyembelih hewan-hewan kurban.Jadi orang yang taqarrub mendekatkan diri  dan menyembelih kurban disisi kuburan tidaklah memiliki tujuan lain selain untuk mengagungi dan mengeramatkannya serta mengharapkan berkah dan manfaat darinya dan memohon dijauhkan dari segala mudharat dan keburukan,dan semua ini merupakan ibadah yang wajib ditujukan kepada Allah semata.Dan Nabi –shallallahu'alaihi wasallam- bersabda ;
لا عقر في الاسلام
Artinya ; "Tidak ada 'aqar (penyembelihan hewan kurban dikuburan) dalam islam."[21]
            Setelah mengutipkan beberapa dalil diatas,kami akan mengakhiri bahasan ini sekaligus menyimpulkan bahwa apa yang dinukil oleh penulis kitab "Al Bahr Az Zakhkhar" dari Imam Yahya adalah salah satu bentuk ketergelinciran dari sekian banyak ketergelinciran para ulama dan para mujtahidin,dan inilah sifat fitrah manusia yang tidak ma'shum,lagi pula –telah maklum- bahwa semua ulama perkataanya bisa diterima dan bisa ditolak walaupun beliau (Imam Yahya) merupakan salah seorang ulama yang paling inshaf,dan paling sungguh-sungguh dalam mencari kebenaran dan pendapat yang haq,akan tetapi ketika kami melihatnya telah menyelisihi para ulama lainnya dengan berpendapat bolehnya membangun qubah diatas kuburan,kamipun mengembalikan perbedaan pendapat tersebut kepada Al Qur-an dan Sunnah sehingga kami mendapatkan berbagai dalil yang berupa seruan untuk menjauhi hal tersebut,dan berupa ancaman Allah yang mengutuk para pelakunya,ditambah juga hal itu merupakan perantara kepada kesyirikan dan washilah yang dapat mengeluarkan pelakunya dari islam sebagaimana yang telah kami jelaskan.
         Dan seandainya ulama yang sependapat dengan Imam Yahya adalah sebagian atau kebanyakan ulama maka dalil-dalil ini telah cukup menjadi bantahan atas pendapat mereka,apatah lagi jika yang berpendapat seperti ini hanyalah satu individu dari sekian banyak umat islam,Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- telah bersabda ;
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya ; "Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang bukan berasal dari perkara kami (agama),maka ia tertolak."[22]
             Dan telah maklum bahwa meninggikan bangunan kuburan dan membangun qubah dan masjid diatasnya bukan merupakan perkara agama yang merupakan perintah Rasulullah –shallallahu'alihi wasallam-.Dan yang patut diketahui adalah bahwa yang menurunkan dan mewajibkan syariat islam ini adalah Allah subhanahu wata'ala yang Dia turunkan dalam KitabNya dan Sunnah RasulNya.Oleh karena itu tidak dibenarkan untuk mentaqlid dan mengekor pendapat ulama yang menyelisihi Al Qur-an dan Sunnah atau salah satu dari keduanya walaupun ia telah mencapai derajat keilmuan yang sangat tinggi,akan tetapi dengan adanya ketergelinciran dalam sebagian ijtihadnya,ia tetap berhak mendapatkan satu pahala namun tidak boleh bagi selainnya untuk mengekor ketergelincirannya tersebut,sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.

PENUTUP
             Adapun dalil yang dijadikan argumen oleh Imam Yahya dalam ucapannya ; "Hal itu (membangun kubah dan masjid diatas kuburan) telah dilakukan oleh Kaum Muslimin dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya," ini merupakan perkataan dan dalil yang mardud/tertolak karena ulama-ulama islam disetiap zaman masih turun temurun meriwayatkan hadis-hadis yang berisi tentang kutukan dan laknat terhadap para pelakunya,mereka juga telah menjelaskan secara gamblang akan keharaman hal itu dimadrasah-madrasah dan majelis-majelis mereka dan hal itu juga turun temurun dari zaman sahabat sampai zaman ini,serta masalah ini juga bahkan telah ditulis oleh para ahli hadis dalam kitab-kitab hadis mereka,para ahli tafsir dalam kitab-kitab tafsir mereka,para ahli fiqh dalam kitab-kitab fiqh mereka dan para ahli sejarah dalam kitab-kitab sejarah mereka.Semua ini menunjukkan bahwa hal tersebut telah diingkari oleh para ulama sejak zaman sahabat sampai pada zaman ini.Ibnu Qoyim –rahimahullah- telah menukil ucapan gurunya Taqyuddin (Ibnu taimiyah) –rahimahumallah- yang merupakan seorang imam yang menguasai madzhab salaf dan khalaf, ia menyatakan bahwa semua madzhab islam melarang dan tidak membolehkan pembangunan masjid diatas kuburan,dan berkata ; "Para ulama dari pengikut Ahmad,Malik,dan AsSyafi'i telah secara jelas menyatakan keharaman akan hal tersebut,sedangkan satu madzhab lain (Al Hanafiyah) menyatakan akan makruhnya perkara tersebut,akan tetapi hal ini hendaknya dijadikan sebagai karahah attahrim (makruh yang bersifat haram),sebagai sikap berbaiksangka terhadap mereka (Madzhab Al Hanafiyah) dan agar kita tidak menuduh mereka telah melanggar hadis yang mutawatir dari Nabi –shallallahu'alaihi wasallam- yang mengandung laknat dan kutukan Allah dan RasulNya terhadap pelakunya."[23]
           Demikianlah tulisan ini,segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita petunjuk kepada yang haq dan menunjukkan kita jalan untuk mentaatinya dan semoga shalawat dan salam tercurahkan atas hamba dan utusan Allah Muhammad,keluarga,dan para sahabatnya.
              
          
    


[1].Abad 13 H,merupakan zaman hidupnya Sang Imam penulis risalah ini.
[2] .Hadis dengan lafadz ini,saya belum mendapatkannya dalam kitab-kitab hadis sepanjang pencarian saya.(  
[3].HR.Al Bukhary ; 6919 dan Muslim ; 1716  
2 .Hadis ini diriwayatkan oleh Ad Dailamy dari Anas bin Malik –rdhiyallahu'anhu-,disanadnya terdapat Isma'il bin 'Ayyasy,seorang rawi yang dha'if,dan diriwayatkan juga secara mursal dari Al HasanAl Bashry,namun hadis-hadis mursal AlHasan dianggap dha'if oleh para Ahli Hadis.(lihat ; Al-Mathalib Al 'Aliyah ; 1/151).Walaupun sanad hadis ini dha'if namun maknanya shahih sebagaimana banyak terdapat dalam hadis-hadis shahih diantaranya dalam As Shahihain,Rasulullah –shallallahu'alihi wasallam- bersabda : "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata yang baik atau diam" (HR.Al Bukhary ;  5672 dan Muslim ; 182)
[5] Beliau adalah salah satu ulama dan imam madzhab zaidiyah.
[6] Madzhab Zaidiyah merupakan salah satu madzhab syi'ah yang manhaj,dan aqidahnya terdekat dengan Ahli Sunnah dibandingkan dengan madzhab-madzhab syi'ah yang lain.Dinamakan Zaidiyah karena mereka menisbatkan madzhab mereka kepada Zaid bin 'Ali –rahimahullah-.Diantara manhaj dan aqidah mereka yang tidak sama dengan Syi'ah imamiyah yang kafir ( yang menjadi madzhab utama dinegeri Iran sekarang) ; mereka tidak mengkafirkan kaum muslimin,tidak mengkafirkan dan mencela sahabat-sahabat nabi,mengakui kekhalifahan Abu Bakr dan Umar –radhiyallahu'anhuma- dan lain lain.Dan pada zaman ini pengikut madzhab ini masih terdapat dibeberapa daerah di Yaman.
[7].30 ayat yang beliau maksudkan adalah semua ayat yang mengisyaratkan akan wajibnya mentaati Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam-.Ayat-ayat tersebut adalah ; Al Baqarah ; 231, Al Maaidah ; 92,  Ali 'Imran ; 31,dan 32, An Nisa' ; 13,42,59,62,64,65,69,80,113,115,dan 136, Al A'raaf ; 158, Al Anfal ; 24, At Taubah ; 71, An Nahl; 44,dan 64, An Nur ; 52,54,dan 63, Al Ahzaab ; 21,34,36,dan 66,  Al Hujurat ; 15, An Najm ; 3-4, Al Hasyr ; 7, dan At Taghabun ; 8,  
[8].HR.Al Bukhary ; 424 dan Muslim ; 528
[9] .HR.Muslim ; 1216
[10]. HR.Al Bukhary ; 5478  dan Muslim ; 1212
[11] .HR.Ahmad ; 4143
[12] .HR.Ahmad ; 2986 ,Abu Daud ; 3236  ,At Tirmidzy ; 320 , An Nasa'I ; 2043 ,dan Ibnu Majah ; 1575  
[13] .HR.Muslim ; 2287
[14] .lihat Shahih Muslim ; 2286
[15].HR.Ahmad ; 26598 ,Muslim ; 970, Abu Daud ;  3225, At Tirmidzy ;   1052, dengan lafadz riwayat At tirmidzy
[16] .HR.Malik ; 414
[17] .HR.Abu Daud ; 2042 dan dishahihkan oleh Al Albany –rahimahullah- dalam Sunan Abi Daud tahqiq beliau no.hadis 2042
[18] .Lihat Shahih Al Bukhary ; 3527 dan Muslim ; 522
[19].Nadzar adalah berjanji mewajibkan atas dirinya untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah,misalnya dengan mengatakan "jika aku berhasil,aku akan berpuasa sehari",dan nadzar ini adalah ibadah yang wajib ditujukan kepada Allah,kapan ditujukan kepada selainnya semisal "jika aku berhasil aku akan berkurban dengan seekor kambing dikubur si Wali Fulan",maka ia telah melakukan perbuatan syirik,wal'iyaadzu billaah.  
[20] .HR.Muslim ; 4333
[21] .HR.Abu Daud ; 3222, dari Anas bin Malik –radhiyallahu'anhu- dan dishahihkan oleh Al Albany dalam Al Ahkam ; 203
[22] .HR.Muslim ; 4493

 
CMB MEDIA © 2011 | Designed by Chica Blogger | Modified By: Iky Febri | Powered by: CMB NIAGA Facebook Groups